Kadangsuka heran deh sama bunda yg suka komen

Suami milik ibunya, itulah kata kata yang santer terdengar. Katanya wanita harus mendahulukan suami, sedang Suami harus mendahulukan ibunya, apa maksudnya ? Setiap orang pasti mengharapkan dan mencintai kehidupan yang damai dalam rumah tangga. Kedamaian dan keharmonisan itu ditunjang oleh berbagai hal, terutama bagaimana cara suami dan isteri berbakti kepada kedua orang tua mereka. Karena bagaimana pun orang tua adalah orang yang menjadi sebab kedua mempelai hadir di dunia ini dan dipertemukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam ikatan Lainnya Tidur Berkualitas Ala Rasullullah0Pemkot Palembang Ajak IPNU Bersinergi0Program Palembang Emas Darussalam Jadi Role Model Nasional0Pemkot Palembang Sosialisasikan Bantuan Hibah Keagamaan0Peringatan Maulid Nabi Guna Mempererat Silaturrahmi0 Namun, ada sebuah hadits yang seringakali menimbulkan persepsi yang tidak sesuai dengan harapan itu. Hadits itu seperti “mengesampingkan” orang tua dari mempelai wanita, karena secara “tekstual” hadits itu seolah memberi arti bahwa “Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya”. Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut Ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu Anha pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, “Siapakah yang paling berhak atas wanita isteri? Rasulullah menjawab, “Suaminya” Lalu aku bertanya lagi, “Siapa yang paling berhak atas laki laki berarti konteks di sini suaminya? Rasulullah menjawab, “Ibunya”. Lalu kita memahaminya, “Isteri harus mendahulukan suami, dan suami harus mendahulukan ibunya”. Banyak di antara kita memahaminya seperti itu. Terutama yang “ngajinya” di media sosial. Kalau begitu, kasihan sekali ibu dari si isteri. Karena “Tidak punya apa apa lagi”. Anaknya udah jadi isteri, harus berbakti pada suaminya, sedang suaminya harus berbakti pada ibunya. Lebih kasihan lagi kalau si ibu punya anak 3 perempuan semua. Pasti dia sangat sedih jika anaknya menikah,,, Di mana kita salah pahamnya? Pada memahami kata “ibunya”. Siapa “ibu” bagi orang yang sudah menikah? Ibu bagi orang yang sudah menikah adalah 1. Ibu yang melahirkannya ibu kandung dan 2. Ibu yang melahirkan pasangannya suami/ isterinya alias ibu mertua Jadi maksud dari hadits itu adalah Berbakti pada orang tua tidak lepas, meski sudah menikah. Isteri jadi partner bagi suaminya jadi satu tim, untuk berbakti pada orang tua orang tua si isteri maupun suaminya, alias mertua masing masing. Jangan sampe isteri berbuat sesuatu perhatian pada ibu kandungnya tanpa sepengatuan suami, dan sebaliknya. Tapi jadi satu tim yang kompak berbakti pada orang tua. Berbakti ini merupakan “wajah hakiki dari suami isteri”. Suami harus menjadi pemimpin yang adil. Sehingga semua mendapatkan perhatian yang semestinya diberikan. Tidak ada perbedaan dari pihak orang tua sendiri atau mertua. Semuanya diberikan dengan cara bermusyawarah dengan isteri. Maka ketika pernikahan, ibu dari penganten perempuan akan bahagia. Karena sekarang dia punya anak 2 anaknya dan menantunya. Dulu, kalau mau angkut angkut pasir, susah, karena anaknya perempuan. Sekarang tidak lagi. Karena punya anak laki laki. Ibu dari mempelai laki laki juga demikian. Sekarang punya anak 2. Dulu, kalau berurusan dengan “bedak dan saudara saudaranya” repot, karena anaknya laki laki. Sekarang tidak lagi. Ia punya anak menantu perempuan untuk menemaninya berekspresi. Indra KisahSuami Isteri Yang Baru Berkahwin A ssalamualaikumsaya ada sesuatu yang menarik untuk dibaca dan pasti semua para pembaca wanita akan tersenyum apabila membacanya sebab sweet sangat si suami berkata sebegitu kepada si isteri Hulu Terengganu 4 Kisah Benar - Untuk Renungan Suami Isteri Yang Belum Mempunyai Anak!
Orangtua & Mertua Statusnya Sama Istri Milik Suami, Suami Milik Ibunya Bukan Hadits Nabi Oleh Al-Ustadz H. Miftahul Chair, MA Genre Fikih & Hadits Jemaah dari tanah Jawa kabupaten Kudus bertanya, "Ustadz apakah istri milik suami dan suami milik ibunya hadits Nabi, mohon penjelasannya ustadz? Saya Jawab Iya saya pernah mendengar istilah istri milik suami dan suami milik ibunya. Tapi sejatinya itu bukanlah hadits namun kesimpulan yang terjadi di dunia maya terhadap sebuah hadits dan kesimpulan itu salah kaprah dan bisa berakibat fatal terhadap pemahaman suami. Ini yang perlu diluruskan agar jangan sedikit-sedikit kata populer disandarkan ke Rasulullah Saw, ini merupakan dosa besar karena berdusta atas nama Rasulullah Saw. Kalimat istri milik suami, suami milik ibunya terinspirasi dari sebuah hadits yang jauh dari makna hadits itu sendiri. Adapun hadits yang terlihat seolah-olah kedudukan suami mendominasi istrinya yang harus taat dan peduli kepada ibu kandung suami saja sebagai berikut عن عَائِشَةَ ، قَالَتْ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ ؟ قَالَ " زَوْجُهَا " ، قُلْتُ فَأَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ ؟ قَالَ " أُمُّهُ " Maknanya "Dari Asiyah “Aku bertanya kepada Rasulullah saw” “Siapa yang memiliki hak paling besar terhadap wanita?” Rasulullah saw, berkata “Suaminya”. Aku berkata “Maka siapa yang paling berhak atas laki-laki?” Rasulullah saw, berkata “ibunya". HR. Hakim, Bazzar dan Thabrani. Gara-gara salah memahami hadits ini ada seorang suami yang antipati dan tidak peduli lagi kepada mertuanya, sehingga ia tidak berbakti kepada kedua mertuanya fokus dengan orangtuanya saja dan pada akhirnya sering memicu keretakan rumah tangga. Padahal tidak demikian. Jadi point yang didapat dari hadits di atas, 1. Hadits tersebut adalah hadits bermasalah artinya diperselisihkan kualitasnya sebab ahli hadits seperti Imam Al-Mundziri menyatakan hadits tersebut hasan dan Imam Hakim menyatakan shahih dengan syarat muslim. Sedangkan Imam Abi Hatim dalam kitabnya Al-Jarh Wat Ta'dil menyebutkan bahwa dalam hadits tersebut ada perawi yang tidak dikenal atau majhul yakni Abu 'Utbah. Yang sangat disayangkan hadits tersebut beredar di internet diriwayatkan oleh Muslim, seolah-olah memaksa istri agar hadits ini menjadi dalil yang kuat agar istri fokus kepada orangtua atau ibu kandung suami saja. Jadi hadits tersebut dimanipulasi sebagai riwayat muslim yang tidak ada riwayat dalam kitab shahih Muslim padahal riwayat Imam Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak. 2. Hadits tersebut bertentangan dengan hadits shahih berikut رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ أَخْرَجَهُ التِّرمذيُّ، وصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ والحاكِمُ Maknanya "Ridha Allah berada pada ridha kedua orangtua dan Murka Allah berada pada murka kedua orangtua." HR. Tarmidzi, Ibnu Hibban menshahihkannya dan Imam Hakim. Dengan kata lain, jika seorang suami secara diktator memerintahkan kepada istrinya hanya berbakti kepada ibu kandungnya saja maka seorang suami tersebut kehilangan ridha Allah dari sisi mertuanya. Bisa dikatakan, suami mendapat bagian ridha Allah dari baktinya kepada ibu kandungnya sekaligus mendapat murka Allah dari tidak berbaktinya suami kepada mertuanya. Dengan kata lain, nol pahala yang diterima suami jadinya. Orangtua dan mertua memiliki kedudukan yang sama setelah pernikahan anaknya. Pada kedua kubu wajib bagi suami dan istri berbakti. Seorang suami pun wajib berbuat baik kepada mertuanya seperti dia berbuat baik kepada kedua orangtua yang telah melahirkannya karena mertuanya telah mengizinkan menantunya untuk mengambil anak perempuan untuknya, tanpa izin orangtua maka laki-laki tidak akan pernah bisa menikahi seorang wanita mana pun. 3. Jika hadits tersebut disalahgunakan dalam memahaminya maka hadits tersebut bertentangan dengan Alquran tentang prinsip-prinsip keadilan. Artinya kita butuh dalil yang lain untuk menyeimbangkan pemahaman terhadap dalil-dalil tersebut. Saya banyak mendengar keretakan rumah tangga sering terjadi karena tidak meratanya keadilan, salah satunya diskriminasi suami terhadap orangtua istri. Dalam hal ini, suami wajib mencari jalan tengah yakni wajib meminimalisir resiko dan wajib mempertahankan rumah tangga. Bagaimana seorang suami memperlakukan orangtuanya dengan baik begitu pula dia memperlakukan mertuanya. Sebaliknya istri pun demikian. Keseimbangan ini akan menimbulkan rasa kasih dan sayang di antara suami dan istri karena sikap seperti ini lahir dari wawasan yang baik terhadap nash Alquran dan Hadits. 4. Jika hadits ini pun dijadikan hujjah maka sebenarnya hadits ini mengarahkan kepada wanita untuk tidak sepenuhnya terlalu merasa memiliki suaminya sehingga ia melarang suaminya untuk berbuat baik kepada ibu kandungnya. Karena faktanya di lapangan ada perempuan yang menghalangi-halangi suami untuk berbakti kepada ibunya karena perselisihan pendapat. Tidaklah semua itu terjadi kecuali karena ketidakpahaman istri dalam membina hubungan baik dengan orangtua. 5. Hadits itu tidak berbicara tentang bahwa istri adalah milik suami dan suami milik istri tapi persoalan hak suami yang harus didahulukan dalam menetapkan keputusan atau yang menyangkut aktivitas sehari-hari jika ada pertentangan. Imam Al-Buhuti dalam kitabnya Syarh Muntahal Iradat, إذا تعارضت طاعة الزوج مع طاعة الأبوين ، قدمت طاعة الزوج Maknanya "Jika kepatuhan istri terhadap suami bertentangan dengan kepatuhannya kepada kedua orangtuanya. Maka didahulukan terlebih dahulu bagi istri untuk mematuhi suaminya." Pertentangan ini kan jarang terjadi, jika harus terjadi seorang istri memilih keputusan suaminya seraya menyatakan dengan baik-baik kepada kedua orangtuanya. Nah, di sinilah pentingnya seorang suami dan mertua memiliki wawasan yang baik agar menyikapi setiap keputusan dengan bijak dan sabar. Namun perlu diperhatikan, pertentangan ini pada batas persoalan hubungan-hubungan yang normal antara suami dan mertua, apabila pertentangan itu sudah sampai pada keputusan suami agar istri mendurhakai orangtuanya. Maka tidak ada kewajiban seperti itu yang wajib ditaati. Sang Pecinta Kedamaian Ustadz Miftah.
Mahukahaku beritahu kepada kamu tentang isteri-isteri kamu yang termasuk dalam penghuni syurga. Tidak masuk syurga Allah bagi seorang isteri derhaka Nusyuz kepada suami. Syurga isteri terletak pada suami manakala syurga suami terletak pada Ibunya. Kerana diugut isteri nya. Eye me April 2021. Eye Me March 2021.
Sebagaicontoh, pasangan suami istri membeli satu unit rumah bersama. Porsi dana yang digunakan adalah 70 persen untuk suami dan 30 persen untuk istri. Maka, kepemilikan rumah itu menjadi 70 persen milik suami dan 30 persen milik istri. Jika salah satu dari keduanya meninggal, maka yang dibagi sebagai waris adalah porsi kepemilikan atas rumah itu.
Sebagianahli ilmu menerangkan makna mula'anah adalah saling mendoakan laknat di antara dua pihak. Secara syariat, persaksian-persaksian yang dikuatkan dengan sumpah, digandengkan dengan laknat dari arah suami dan disertai dengan doa murka Allah dari sisi istri. Menduduki posisi hukuman a- qadzf (tuduhan zina) pada hak suami dan menduduki
Haditsitu seperti "mengesampingkan" orang tua dari mempelai wanita, karena secara "tekstual" hadits itu seolah memberi arti bahwa "Isteri itu milik suami dan Suami itu milik ibunya". Dalam kitab Uqudul Lujain hadits itu dinuqil sebagai berikut :
Sedangkan suamimu, ia wajib taat kepada ibunya.* Begitulah Allah mengatur laki-laki untuk taat kepada ibunya. Jangan sampai kamu menjadi penghalang bakti suamimu kepada ibundanya". *"Suamimu, dan harta suamimu adalah milik ibu nya".* Ayah mengatakan itu dengan tangis. Air matanya semakin banyak membasahi pipinya.

2 Harta keluarga tanggung jawab istri. Apabila harta yang dinafkahkan adalah harta tanggung jawab istri seperti uang bulanan yang seharusnya digunakan untuk keperluan rumah tangga, maka istri harus meminta izin kepada suami. Uang rumah tangga bulanan adalah harta suami. Seperti pada hadis, diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abdullah bin 'Amru

i194hq.
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/2
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/116
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/323
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/338
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/436
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/412
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/187
  • 2bjtyx86wz.pages.dev/234
  • hadist istri milik suami suami milik ibunya